HERALDKALTIM – Kejaksaan Agung tengah membongkar skandal korupsi impor minyak Pertamina yang menyeret nama-nama besar dalam industri energi nasional. Salah satu yang kini dalam bidikan adalah Mohammad Riza Chalid, sosok yang kerap disebut sebagai “the gasoline godfather”. Nama Riza kembali mencuat setelah putranya, Muhammad Kerry Adrianto Riza, resmi ditetapkan sebagai tersangka. Dengan sembilan tersangka telah diumumkan, kasus ini menguak jejaring bisnis yang bertahun-tahun mengendalikan arus minyak di negeri ini.
Melansir Tempo, kasus korupsi ini berpusat pada dugaan penggelembungan biaya pengiriman minyak sebesar 13-15 persen sepanjang 2018-2023. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 193,7 triliun, angka yang mengundang tanya: bagaimana perhitungan fantastis ini bisa terjadi? Kejaksaan menuding PT Navigator Khatulistiwa—perusahaan milik Kerry—sebagai perantara ilegal dalam pengadaan minyak bagi Pertamina. Keuntungan tak sah mengalir deras, sementara negara merugi dalam angka yang mencengangkan.
Nama Riza Chalid bukan nama baru dalam pusaran bisnis minyak. Berkali-kali tersandung dugaan praktik kotor, ia selalu berhasil lolos dari jerat hukum. Pada 2008, investigasi Tempo mengungkap manipulasi tender minyak Zatapi yang dilakukan oleh Petral, anak usaha Pertamina di Singapura. Gold Manor—perusahaan yang terafiliasi dengan Riza—memenangi tender dengan berbagai pelanggaran prosedur. Sertifikat asal minyak tak jelas, harga pembelian lebih mahal, dan negara kehilangan miliaran rupiah dalam satu transaksi saja.
Riza juga muncul dalam audit forensik KordaMentha, firma investigasi asal Australia, yang menelisik transaksi Petral periode 2012-2014. Hasil audit ini menemukan bahwa bocoran informasi tender minyak kerap jatuh ke tangan pemain tertentu. Global Energy Resources—perusahaan yang terhubung dengan Riza—menjadi salah satu penerima bocoran ini, mengantongi pendapatan Rp 195,21 triliun hanya dari transaksi dengan Pertamina Energy Services.
Namun, meski namanya berulang kali mencuat dalam berbagai laporan, Riza tak pernah sekalipun dipanggil sebagai saksi. Jaringannya begitu luas, mencakup politikus, pejabat intelijen, hingga auditor negara. Ia seolah kebal hukum. Kini, dengan rumahnya telah digeledah oleh Kejaksaan, muncul spekulasi: apakah rezim baru benar-benar akan menindak Riza, atau ini hanya bagian dari skenario untuk menyingkirkan pemain lama dan memberi tempat bagi wajah-wajah baru?
Sketsa yang ditawarkan Tempo menggambarkan suasana yang semakin panas. Salah satu ilustrasi menampilkan seorang wasit yang mengangkat papan pergantian pemain di stasiun pengisian bahan bakar, dengan nama Chalid tertera di sana. Di sisi lain, seorang saudagar minyak baru bersiap mengambil alih. Jika ini hanya pertarungan antar pemain, tanpa perombakan mendasar dalam tata kelola minyak, maka tak ada yang benar-benar berubah. Korupsi akan tetap berdenyut dalam industri strategis ini, dengan aktor yang mungkin berganti, tapi pola yang tetap sama.
Kasus ini menjadi ujian bagi pemerintahan Prabowo Subianto: apakah mereka sungguh berani membersihkan bisnis minyak dari mafia, atau sekadar menyusun ulang daftar penerima keuntungan? Jika hanya wajah yang berubah, negeri ini tetap terjebak dalam lingkaran gelap korupsi yang tak berkesudahan. (*)