HERALDKALTIM.COM — Sepanjang tahun 2024, kasus perceraian di Indonesia tercatat sebanyak 408.347. Penurunan ditunjukkan oleh jumlah ini dibandingkan dengan 467.000 kasus pada 2023, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga), Dr. Wihaji, menegaskan, persiapan pernikahan memiliki peran krusial dalam menurunkan angka perceraian di Indonesia.
Menurutnya, pernikahan bukan hanya sekadar komitmen, tetapi juga fase penting dalam kehidupan yang membutuhkan kesiapan dari berbagai aspek. Hal itu meliputi kesehatan fisik, mental, finansial, spiritual, serta keterampilan, dalam membangun rumah tangga yang harmonis dan sakinah.
“Dalam rumah tangga, suami dan istri memiliki fungsi dan peran yang saling melengkapi untuk menciptakan keluarga yang harmonis, bahagia, dan sejahtera,” kata Dr. Wihaji yang disampaikan melalui siaran resmi.
Peran dalam keluarga tidak hanya sebatas tanggung jawab ekonomi atau urusan domestik. Pengasuhan anak, dukungan emosional, serta pengambilan keputusan bersama juga menjadi aspek penting dalam menciptakan rumah tangga yang harmonis. Namun, masih banyak suami yang hanya berperan sebagai pencari nafkah dan kurang aktif dalam pengasuhan anak. Pembagian tanggung jawab rumah tangga secara seimbang.
Perceraian Didominasi Perselisihan dan Masalah Ekonomi
Menurut Direktur Bina Ketahanan Remaja, Dr. Edi Setiawan, kasus perceraian di Indonesia didominasi pertengkaran dan perselisihan dalam rumah tangga.
“Ini fakta yang kita dapat dari Kementerian Agama, ternyata kasus cerai itu disebabkan karena sebagian besar pertengkaran dan perselisihan dalam keluarga sebesar 61,7 persen, memang ada masalah ekonomi seperempat atau 20 persennya,” ucapnya.
Disebutkan, ada salah satu pihak yang ditinggal pergi atau di-ghosting sebesar 8,4 persen, ada juga kasus KDRT. “KDRT angkanya kecil kenapa, karena yang dilaporkan sekian persen saja tetapi kasus sebenarnya jauh lebih besar dari 1,3 persen, ” lanjutnya.
“Yang terakhir adalah mabuk-mabukan, bahaya juga nih, artinya dia belum kenal dengan suaminya, suaminya mabuk-mabukan tapi sudah terlanjur menikah. Karena itu, kenali dulu pasangan kalian, ” lanjutnya lagi.
Dikatakan, menikah tak sekadar tinggal bersama, tapi hal ini soal hidup bersama. “Bagaimana kita melakukan adaptasi dan penyesuaian dengan pasangan kita,” lanjut Edi.
Perceraian yang masih tergolong tinggi serta berbagai permasalahan dalam rumah tangga munculkan tren baru di kalangan remaja, yaitu kesadaran akan pentingnya kesiapan sebelum menikah.
Wihaji, melalui perwakilannya Nopian, menyampaikan, fenomena ini berdampak pada meningkatnya selektivitas pasangan sebelum memutuskan untuk menikah. Mereka kini lebih mempertimbangkan aspek finansial, emosional, serta kestabilan hubungan sebagai faktor utama dalam pernikahan.
Pentingnya Pengelolaan Konflik dalam Pernikahan
Selain itu, Johana Rosalina, Konselor Keluarga dari Universitas Bina Nusantara (Binus) sekaligus pemateri di Kelas Pranikah, menekankan pentingnya pengelolaan konflik dalam pernikahan. Strategi penyelesaian konflik mencakup kerja sama sebagai tim, menemukan titik temu, meluangkan waktu untuk diskusi, serta menerapkan pendekatan problem-solving.
Sikap defensif harus dihindari, dan keberanian untuk meminta maaf jika melakukan kesalahan sangat diperlukan dalam membangun hubungan yang harmonis.
“Family who spend time together will stay forever,” tutup Johana.