HERALDKALTIM, SAMARINDA – Longsor yang menimpa lahan milik Koh Andri di kelurahan Bukuan, Kecamatan Palaran, Kota Samarinda, menjadi polemik berkepanjangan. pemilik lahan itu mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk segera turun tangan.
Ia menyebut aktivitas pertambangan sebagai penyebab utama, sementara upaya komunikasi yang telah ditempuhnya sejak 2023 tak kunjung membuahkan hasil.
“Inisiasi tata ruang di Palaran sudah kami lakukan dengan segala upaya. Perubahan tata ruang juga telah terjadi, dengan izin perumahan, pelabuhan, dan industri di atas lahan tersebut sudah kami kantongi ijinnya,” sebut Ko Andri, pada Kamis, 13 Februari 2025.
Ko Andri pernah meneken kerja sama pemanfaatan lahan untuk pertambangan pada 2019 dengan durasi tiga tahun. Kontrak itu telah berakhir, tetapi dampaknya masih terasa. Di lokasi lain miliknya, lahan seluas beberapa hektare amblas akibat aktivitas tambang.
Pemilik lahan sudah menyurati berbagai pihak antara lain perusahaan tambang, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) kota, DLH provinsi dan telah berkonsultasi dgn inspektorat tambang, Gakkum, Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan ombudsman
“Tahun lalu saya kirim surat lagi, tetap tidak ada jawaban. Saya akhirnya melaporkan ke DPRD. Setelah mereka turun ke lapangan, ada janji perbaikan dalam dua bulan. Tapi kami tidak bisa percaya begitu saja. Lahan sudah sangat rusak, tidak mungkin diperbaiki tanpa ganti rugi atau solusi lain,” katanya.
Ko Andri menegaskan, tata ruang di lokasi terdampak telah berubah dari tambang menjadi pemukiman. Ia meminta izin tambang yang masih berlaku hingga 2026 dihentikan sementara.
“Kami ingin membangun Palaran jadi lebih baik, bukan meninggalkan lubang tambang yang tidak direklamasi,” ucapnya.
Ia juga menuding perusahaan tambang yang beroperasi tak menepati janji reklamasi. Bahkan, pengurusan sertifikat tanahnya ditolak Badan Pertanahan Nasional (BPN) karena kondisi lahan yang longsor.
“Karena tidak ada alternatif lain, kami akan menempuh jalur hukum sesuai arahan DLH,” kata dia.
Ia berharap pemerintah, terkait segera merespons laporan yang telah dilayangkannya.
“Kami ingin memastikan kewajiban reklamasi benar-benar dijalankan agar lingkungan tidak semakin rusak dan pembangunan kota mandiri bisa terlaksana,” Tungkasnya.
DPRD Samarinda Desak Pemerintah Bertindak
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPRD kota Samarinda, Anhar, menegaskan bahwa berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Samarinda 2022-2042, tidak ada lagi pertambangan yang boleh beroperasi setelah 2026.
“Kami sudah membuat perjanjian antara DPRD Kota Samarinda dan Pemkot Samarinda bahwa tidak ada lagi tambang setelah 2026. Perda ini juga sudah diserahkan ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN),” kata Anhar, pada Kamis, 13 Februari 2025.
Menurutnya, dengan regulasi yang telah disusun, pemerintah harus mulai menertibkan tambang yang masih beroperasi di Samarinda.
“Mulai sekarang, penertiban harus dilakukan. Jangan sampai nanti sudah mendekati 2026, baru ada tindakan,” ujarnya.
Politikus asal daerah pemilihan (dapil) 2 yakni kecamatan Palaran itu juga mendesak dinas terkait untuk segera turun tangan menghentikan operasi tambang yang merugikan masyarakat dan memastikan reklamasi dilakukan sesuai ketentuan.
“Kami berharap DLH dan inspektur pertambangan segera bertindak. Jangan sampai warga terus menanggung dampak buruk akibat tambang yang tidak bertanggung jawab,” tegasnya. (arw)