HERALDKALTIM.COM — Platform e-commerce Bukalapak resmi menghentikan operasional penjualan produk fisik di platformnya. Langkah ini menjadi tanda perubahan besar dalam lanskap bisnis startup di Indonesia, sekaligus menandai pergeseran dari strategi “bakar uang” yang dinilai semakin usang di tengah tekanan ekonomi global.
Pengamat Teknologi Informasi (TI), Alfons Tanujaya, menyoroti, model bisnis startup yang mengandalkan subsidi besar untuk meraih pangsa pasar kini menghadapi tantangan besar.
“Nature-nya bisnis startup memang bakar duit. Yang kuat bakar duit dan berhasil dapat pasar besar akan bertahan, tapi itu sudah tidak relevan lagi saat ini,” ujar Alfons, Jumat (10/1/2025).
Menurut Alfons, persoalan Bukalapak bukan semata kalah bersaing, tetapi juga minim inovasi dan efisiensi operasional.
“Sistem mereka kurang bersahabat, biayanya lebih tinggi, banyak fraud yang gagal diantisipasi, dan layanan kurang baik,” tambah Alfons.
Ia membandingkan Bukalapak dengan pemain besar seperti Shopee dan Tokopedia yang mampu menawarkan nilai tambah lebih besar kepada konsumen.
Transformasi Bisnis di Tengah Tekanan Ekonomi Global
Alfons juga mengingatkan pentingnya menciptakan model bisnis yang berkelanjutan, terutama dalam menghadapi tantangan ekonomi global.
“Startup yang ada saja belum tentu bisa bertahan, apalagi memulai yang baru,” jelasnya.
Dengan menghentikan penjualan produk fisik, Bukalapak kini mengalihkan fokus ke penjualan produk virtual seperti token listrik, pulsa, dan paket data. Langkah ini dipandang sebagai upaya perusahaan untuk tetap relevan di pasar tanpa bergantung pada subsidi besar atau perang harga.
Bukalapak, yang pernah menjadi unicorn pertama Indonesia dan melantai di bursa dengan valuasi hingga Rp 100 triliun, kini harus beradaptasi dengan dinamika pasar. Keputusan untuk mengubah arah bisnis menjadi simbol bahwa era perang harga dan pembakaran modal besar-besaran mungkin telah mencapai titik akhirnya.
