Gus Baha: Pentingnya Menyeimbangkan Pekerjaan dan Ibadah

- Muslim
  • Bagikan
KH Bahauddin Nur Salim alias Gus Baha

HERALD KALTIM — Ulama kharismatik Gus Baha menyoroti pentingnya pola pikir yang kokoh dan ibadah yang penuh perhatian sebagai fondasi untuk meraih hidup yang bermakna.

Menurutnya, pola pikir yang lemah dan terpengaruh hawa nafsu kerap menjadi penyebab kehancuran, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an.

Dalam ceramahnya, Gus Baha menggarisbawahi bahwa menjaga konsistensi dalam ibadah, seperti menanti waktu shalat berikutnya dengan kesiapan hati, adalah salah satu cara untuk memperkuat hubungan dengan Allah.

“Kesabaran dan kemampuan melihat hikmah dalam setiap peristiwa adalah tanda kedewasaan spiritual, seperti yang diajarkan Nabi Muhammad dan para sahabat,” katanya.

Gus Baha juga menekankan pentingnya melawan perilaku buruk, seperti maksiat dan ketamakan, dengan membangun stigma negatif terhadap tindakan tersebut.

Ia mengisahkan pendekatan lembut Nabi Muhammad yang berhasil menyadarkan seorang pemuda tentang dampak buruk zina, yang akhirnya mampu mengubah cara pandang pemuda tersebut.

“Sikap rileks dan bijaksana dalam menjalankan kewajiban agama maupun aktivitas sehari-hari adalah kunci,” tambahnya.

Menurut Gus Baha, mencari nafkah dengan niat yang benar merupakan bagian dari ibadah. Ia mengingatkan bahwa keseimbangan antara ibadah dan pekerjaan adalah sunnah Nabi, yang menciptakan harmoni dalam menjalani kehidupan.

“Kekayaan dan jabatan seharusnya menjadi alat untuk kebaikan, bukan sarana keserakahan,” tegasnya. Ia memberikan contoh bagaimana para ulama menggunakan sumber daya untuk membangun pesantren dan masjid demi kemaslahatan umat.

Sedekah, menurut Gus Baha, adalah bentuk investasi abadi.

“Harta yang disedekahkan akan bernilai di akhirat, sementara yang digunakan sendiri hanya bersifat sementara,” jelasnya.

Ia mengapresiasi para pengusaha yang menyisihkan kekayaannya untuk membantu sesama sebagai wujud ketaatan kepada Allah.

Mengenai kematian, Gus Baha mengajak umat Islam untuk mengubah perspektif dari rasa takut menjadi kerinduan bertemu dengan Allah.

“Kematian seharusnya dianggap sebagai pertemuan dengan Allah, bukan sesuatu yang menakutkan,” ujarnya.

Ia menutup dengan penegasan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang penuh nilai ketuhanan, tanggung jawab sosial, dan kedekatan hati kepada Allah.

“Dengan pola pikir yang kuat, sikap positif, dan amal kebaikan, setiap individu dapat menemukan makna hidup sejati serta kebahagiaan di dunia dan akhirat,” tutupnya. (*)

  • Bagikan