Herald.id, Jakarta –– Gerakan Perlawanan Hamas berduka pada hari Rabu (31/7/2024) setelah tewasnya kepala biro politik dan pemimpinnya, Ismail Haniyeh dalam serangan Israel yang menargetkan tempat tinggalnya di Teheran, Iran. Haniyeh berada di negara itu untuk berpartisipasi dalam upacara pelantikan Presiden Iran yang baru.
Hamas menggambarkan pembunuhan kepala politiknya, Ismail Haniyeh, sebagai eskalasi serius yang tidak akan dibiarkan begitu saja. Pembunuhannya di Iran, mengutip The Guardian, akan dianggap sebagai pukulan serius bagi upaya untuk mengamankan gencatan senjata di Gaza, karena pembicaraan yang dimediasi AS, Qatar, dan Mesir berjalan tersendat-sendat setelah berbulan-bulan negosiasi.
Sekutu Haniyeh dan bahkan mantan pesaingnya turun tangan untuk mengutuk pembunuhan tersebut, di tengah kekhawatiran bahwa kematiannya saat berkunjung ke Teheran dapat memicu tanggapan yang lebih luas. Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyebut pembunuhan itu sebagai “tindakan pengecut dan eskalasi serius.” Kementerian luar negeri Turki menyebut pembunuhan itu “kejam.”
Haniyeh telah lama menjabat sebagai kepala politbiro Hamas, dan dipandang sebagai tokoh moderat dalam gerakan tersebut, yang perannya menjadi vital dalam upaya diplomatik berkelanjutan untuk mengamankan gencatan senjata.
Ia terpilih sebagai kepala sayap politik pada tahun 2017, sebelum meninggalkan Gaza dan mengasingkan diri di Qatar dua tahun kemudian. Dari pengasingan, ia menjadi wajah diplomasi internasional kelompok Palestina, berpindah-pindah antara Turki, Iran, dan Qatar, bergabung dengan sekelompok pemimpin Hamas yang berlindung di Doha dan tidak dapat kembali ke Gaza. Meski begitu, Haniyeh dipandang sebagai jalur komunikasi utama dengan tokoh garis keras seperti Yahya Sinwar di Gaza.
Para diplomat dan pejabat Arab memandangnya sebagai sosok yang relatif pragmatis dibandingkan dengan suara-suara yang lebih militan di dalam Gaza. Ia juga digambarkan oleh beberapa pakar sebagai pemimpin pertempuran politik untuk Hamas dengan pemerintah regional di Timur Tengah.
Bergabung Hamas sejak Intifada Pertama
Haniyeh lahir pada tahun 1963 di kamp pengungsi Shati di Gaza. Saat kuliah di universitas di Gaza, ia bergabung dengan kelompok politik yang merupakan cikal bakal Hamas, dan aktif dalam politik lokal serta dalam berbagai aksi protes.
Ia bergabung dengan Hamas ketika organisasi itu didirikan dalam intifada Palestina pertama pada tahun 1987 dan ditangkap serta dipenjarakan beberapa kali oleh Israel. Ia diasingkan pada tahun 1992 bersama para pemimpin Hamas lainnya, tetapi kembali ke Gaza setahun kemudian.
Ismail Haniyeh lahir di kamp pengungsi al-Shati di Gaza, pada 23 Mei 1963, setelah orang tuanya mengungsi dari Asqalan selama Nakba 1948. Ia lulus pada tahun 1987 dari Universitas Islam dengan gelar Sastra Arab, kemudian menerima gelar doktor kehormatan dari almamaternya pada tahun 2009.
Aktivisme politik Haniyeh dimulai di Blok Islam, cabang mahasiswa Ikhwanul Muslimin di Jalur Gaza, tempat lahirnya gerakan Perlawanan Hamas. Ia menjadi anggota dewan mahasiswa universitasnya antara tahun 1983 dan 1984, kemudian bertindak sebagai presidennya pada tahun berikutnya.
Pada tahun 1989, Ismail Haniyeh ditangkap oleh pasukan pendudukan Israel (IOF) selama tiga tahun, lalu diasingkan ke kota Marj al-Zuhur di perbatasan Lebanon-Palestina, bersama sekelompok pemimpin Hamas. Setelah setahun di pengasingan, Haniyeh kembali ke Gaza dan diangkat sebagai dekan Universirtas Islam.
Haniyeh menjadi anak didik pendiri Hamas Sheikh Ahmad Yassin. Pada tahun 2003 ia menjadi ajudan kepercayaannya, difoto di rumah Yassin di Gaza sambil memegang telepon di telinga pendiri Hamas yang hampir lumpuh itu sehingga ia dapat ikut serta dalam percakapan. Yassin dibunuh oleh Israel pada tahun 2004.
Haniyeh merupakan salah satu pendukung awal agenda politik kelompok tersebut. Pada tahun 2006, ia menjadi perdana menteri Palestina setelah Hamas memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan parlemen Palestina. Ia diberhentikan oleh Abbas pada tahun 2007 setelah Israel menarik diri dari Gaza dan Hamas mengambil alih kendali.
Selama dekade di mana Haniyeh menjadi pemimpin tertinggi Hamas di Gaza, Israel menuduh tim kepemimpinannya membantu mengalihkan bantuan kemanusiaan ke sayap militer kelompok tersebut, sebuah tuduhan yang dibantah Hamas.
Pada tahun 2007, Haniyeh berperan penting dalam pembebasan koresponden BBC Alan Johnston, yang diculik di Gaza dan ditahan selama 16 minggu oleh kelompok Islam lokal.
Ia memerintah Gaza hingga 2017, saat ia terpilih sebagai kepala biro politik Hamas. Haniyeh memiliki peran besar dalam membangun kapasitas tempur Hamas, sebagian dengan memelihara hubungan dengan Iran. Pada 2022, Haniyeh mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Hamas telah menerima bantuan militer sebesar US$70 juta dari Iran.
Ketika ia meninggalkan Gaza pada tahun 2017, Haniyeh digantikan oleh Sinwar, seorang garis keras yang menghabiskan lebih dari dua dekade di penjara Israel dan yang disambut kembali oleh Haniyeh di Gaza pada tahun 2011 setelah pertukaran tahanan.
Menurut para ahli, Sinwar adalah orang terakhir yang mengambil keputusan penting oleh kelompok tersebut. Ketika dalam pembicaraan baru-baru ini, Sinwar memutuskan untuk memutus komunikasi, negosiasi pun terhenti. “Ini secara efektif menggarisbawahi siapa yang mengambil keputusan,” kata seorang sumber diplomatik Eropa kepada Guardian.
Sejak 2017, Haniyeh telah digambarkan sebagai garda depan politik dan diplomatik Hamas. Ia telah terlibat dalam membangun hubungan diplomatik dengan kekuatan lain di Timur Tengah.
Israel menganggap seluruh pimpinan Hamas sebagai teroris, dan menuduh Haniyeh dan para pemimpin lain di luar Gaza terus “menarik tali organisasi teror Hamas”. Pada tahun 2018, Departemen Luar Negeri AS menetapkan Haniyeh sebagai teroris, dengan mengatakan bahwa ia merupakan pendukung perjuangan bersenjata, termasuk terhadap warga sipil.
Tiga putra Haniyeh – Hazem, Amir dan Mohammad – tewas di Gaza pada 10 April ketika serangan udara Israel menghantam mobil yang mereka tumpangi. Haniyeh juga kehilangan empat cucunya, tiga perempuan dan seorang laki-laki, dalam serangan itu, kata Hamas.
Saat itu, pemimpin Hamas mengatakan serangan tersebut tidak akan mengubah tuntutan kelompok itu untuk gencatan senjata permanen dan pemulangan warga Palestina yang mengungsi dari rumah mereka dalam negosiasi yang sedang berlangsung dimediasi oleh Doha dan Washington. “Seluruh rakyat kami dan seluruh keluarga di Gaza telah membayar harga yang mahal dengan darah, dan saya salah satunya,” kata Haniyeh.
“Darah anak-anak dan cucu-cucu saya tidak lebih berharga daripada darah anak-anak rakyat Palestina,” kata Haniyeh ketika anggota keluarganya dibunuh oleh Israel, sambil bersyukur kepada Allah atas kehormatan yang diberikan-Nya dengan murah hati, atas kesyahidan mereka. (reuers/aci)